Rabu, 23 November 2011

Baptisan Selam dan Percik






DAFTAR ISI..............................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...............................................................................................................2
B.     Tujuan Makalah..............................................................................................................2
BAB II BAPTISAN
A.    Defenisi Baptisan...........................................................................................................3
B.     Baptisan Menurut Marthin Luther..................................................................................4
C.     Makna Baptisan..............................................................................................................6
D.    Pandangan penganut Baptis Selam dan Percik...............................................................7
E.     Kontradiksi Baptis Selam...............................................................................................8
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.....................................................................................................................9
B.     Saran...............................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................10




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
            Sebagai perwujudan kemurahan Allah bagi manusia, baptisan merupakan bagian dari ajaran Kristen yang sangat penting dalam memahami penerimaan keampunan dosa, kelahiran kedua kali dan memperoleh kebahagiaan kekal. Namun dalam prakteknya, masih banyak orang Kristen yang tidak mengerti apa yang sesungguhnya tujuan melaksanakan baptisan itu dengan membawa anak-anak mereka untuk menerima baptisan tersebut. Pertentangan yang sering terjadi antara sesama orang Kristen di Dunia pada umunya dan di Indonesia pada khusunya. Para pakar perjanjian baru dan para bapak gereja mendiskusikan kebenaran dari baptis percik dan baptis selam.
            Bagi kalangan teologi sering didebatkan dan tidak ditemukan satu jawaban yang sangat pasti mengenai kebenaran akan kedua baptis ini. Hal yang paling ekstrim dan tidak sesuai dengan Firman Tuhan adalah para penganut baptis selam dan baptis percik mereka saling menghakimi dan menentukan kebenaran menurut pemikiran mereka sendiri.  Korban dari perdebatan ini adalah jemaat dan orang kristen yang tidak mengetahui dengan pasti kebenaran kedua baptis ini. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa para pakar teologi telah membuat sebuah kebingungan dan pertanyaan bagi jemaat. Hal ini wajar karena poa pikir manusia yang satu dengan yang lain memiliki perbedaan.
B.     Tujuan Makalah
                Dalam pengertian tentang baptis  yang memiliki perbedaan adalah titik tolak dimana manusia tidak akan pernah puas daan selalu mencari cara untuk memuaskan pikiran dan keinginan mereka. Demikian juga perdebatan yang tak henti-hentinya tentang baptis ini . Masyarakat Kristen pasti memiliki pandangan masing masing mengenai baptis ini. Makalah ini akan meluruskan dan menjelaskan  bahwa walaupun terdapat cara baptis yang berbeda pada dasarnya adalah kita telah lahir baru lewat kita yakin, mengimani,dan percaya bahwa Yesus Kristus adalah Juruselamat dan Sang Mesias(yohanes 14:6). Kita yakin bahwa Yesus mati di bukit golgota dan telah Bangkit diantara orang mati dan nantinya Yesus juga kan datang kedua kalinya untuk menjemput orang yang percaya kepada Allah.

BAB II
BAPTISAN
A.    Defenisi Baptisan
            Istilah baptisan berasal dari bahasa Yunani yaitu “βαπτισμα” (kata benda bentuk nominatif tunggal neuter) yang dapat diartikan dengan kata “baptisan”. Secara etimologi kata ini berasal dari kata dasar “βαπτω” yang mempunyai arti dasarnya ialah saya mewarnai, dan kemudian artinya berkembang menjadi saya membasahi, saya membenamkan. Kata ini juga dapat diartikan dengan saya mencelupkan, membersihkan atau memurnikan melalui pembasuhan.
Pengertian “βαπτώ” yang sering dipakai dalam kekristenan sekarang ini ialah berarti membaptiskan. Sedangkan bentuk infinitip dari kata “βαπτω” ialah kata “βαπτιζειν” yang berarti kata yang menyuruh untuk membaptiskan. Kata “βαπτιζειν” ini menandakan tindakan luar yang kemudian menjadi syarat untuk usaha dari baptisan yang didasarkan pada Kristus. Sedangkan Yesus memakai kata “βαπτιζοντες”  untuk menyuruh murid-muridNya membaptis di dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus[1].Kata “βαπτισμα” ini bukan hanya sekedar pencelupan ke dalam air belaka, namun melalui perantaraan air tersebut maka makna kata baptisan itu telah berubah, misalnya dalam Roma 6:4 kata dibaptiskan telah berubah makna menjadi dikuburkan dan dibangkitkanbersama Kristus. Sedangkan dari Efesus 4:5, kata “βαπτισμα” maknanya menjadi untuk membentuk arti kata yang menunjuk kepada satu kesatuan jemaat.
Arti kata “βαπτισμα” juga bukan hanya menunjuk kepada tindakan/reaksi dalam bentuk dari luar tetapi mencakup tindakan dalam bentuk dari dalam. Tindakan dalam bentuk dari luar ialah dengan adanya penyucian melalui pembaptisan dengan air, sedangkan tindakan dalam bentuk dari dalam ialah dengan adanya pertobatan dan penyucian hati.
B.     Baptisan menurut Martin Luther
            Menurut Luther, baptisan bukanlah hasil pikiran manusia, melainkan wahyu dan pemberian Allah. Baptisan tidak bisa dianggap sepele, melainkan harus dipandang sebagai sesuatu yang terbaik dan luhur. Meskipun baptisan merupakan hal lahiriah, namun yang jelas firman dan perintah Allah menetapkannya dan meneguhkannya. Lebih-lebih baptisan itu dilakukan di dalam namaNya. Luther mendirikan pendapatnya di atas Mat. 28:19-20. Dibaptis dalam nama Allah bukanlah dibaptis oleh manusia, melainkan oleh Allah sendiri. Karena itu, walaupun manusia yang melakukannya, baptisan itu benar-benar perbuatan Allah sekaligus. Artinya, jika pun seorang imam atau pendeta melayani sakramen baptisan kudus, sebenarnya Allah sendirilah pelaku utama dalam sakramen tersebut bukan  pendeta.
            Luther berpendapat bahwa baptisan bukanlah air biasa saja, melainkan air yang terkandung dalam firman dan perintah Allah serta dikuduskan oleh-Nya. Dengan demikian baptisan tidak lain daripada Allah sendiri; bukan karena air itu lebih istimewa dari segala jenis air yang lain, tetapi karena firman dan perintah Allah yang menyertainya. Jadi, baptisan berbeda dengan air yang lain, bukan karena apa adanya, melainkan karena sesuatu yang lebih mulia menyertainya. Allah sendiri menaruh kemuliaanNya atasNya dan mengalirkan kuasa kuasa dan kekuatan ke dalamnya. Baptisan adalah suatu firman surgawi yang kudus, pujian apapun tidak cukup untuk memuliakannya, karena seluruh kuasa dan kemampuan Allah ada di dalamnya.
            Menurut Luther, tidak ada mutiara yang lebih berharga daripada baptisan. Menurutnya, pemberian-pemberian dalam baptisan begitu banyak dan tak ternilai harganya, antara lain kemenangan atas maut dan iblis, pengampunan dosa, kemurahan Allah, Kristus seutuhnya dan Roh Kudus dengan pemberian-pemberian-Nya. Seseorang yang dibaptis menerima janji akan berbahagia selama-lamanya. Itulah dampak yang dihasilkan oleh perpaduan air dan Firman dalam baptisan, yakni bahwa tubuh dan jiwa memperoleh kesukaan: Firman yang menjadi pegangan jiwa sekaligus akan memberi kesukaan bagi tubuh. Luther kemudian menghubungkan asumsinya dengan Roma 6, yang berbicara seputar topik kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Menurut Luther, baptisan sebagai sakramen yang kudus telah mengikutsertakan kita di dalam kematian dan kebangkitan Yesus.


1.      Baptisan Anak-anak
Sah tidaknya baptisan tidak tergantung pada orang yang dibaptis, demikialah asumsi Luther menanggapi pertanyaan orang-orang tentang baptisan kepada anak. Menurutnya, baptisan bergantung pada Firman yang menyatu dengan air. Siapapun yang dibaptis, Allah berkenan atas baptisan tersebut, sebab memang Allah sendirilah yang menjadi aksiom baptisan. Seperti telah dibahas sebelumnya, Luther mengatakan bahwa baptisan adalah kehendak Allah, bukan kehendak manusia. Oleh sebab itu, baik anak-anak ataupun orang dewasa, jika baptisan itu atas nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, maka baptisan itu adalah sah adanya.[2]
2.      Manusia Lama Sudah Mati, Manusia Baru Hidup Kembali
            Bagi Luther, baptisan yang ideal adalah baptisan dengan cara dicelupak ke dalam air. Ketika dicelupkan ke dalam air, air itu melingkupi diri orang yang dibaptis dan kemudian ditarik lagi keluar; berarti mematikan Adam yang Lama dan membangkitkan manusia baru. Luther mengatakan bahwa hal ini harus terjadi terus-menerus sepanjang hidup. Dengan demikian, kehidupan orang Kristen tidak lain daripada baptisan setiap hari.[3]
            Sekali baptisan itu dimulai, maka kita terus-menerus berada di dalamnya. Sebab kita tidak pernah berhenti membersihkan apa-apa yang berasal dari Adam lama; dan apa saja yang termasuk manusia baru harus terus menerus muncul. Yang dimaksud oleh Luther dengan manusia lama adalah apa yang dilahirkan dalam diri kita dari Adam, yakni: amarah, cemar, iri hati, mesum, tamak, malas dan tinggi hati. Oleh karena itu, manakalah kita masuk ke dalam kerajaan Kristus, semua ini mesti makin berkurang dari hari ke hari, sehingga makin hari kita makin lembut, sabar dan rendah hati, serta membuang ketamakan, kebencian, iri hati dan kesombongan. Di mana ada iman beserta buah-buahnya, di sana baptisan bukan merupakan lambang yang samar-samar saja, melainkan benar-benar nyata pengaruhnya. Sebaliknya, tanpa iman baptisan itu hanyalah tanda belaka, tanpa pengaruh apapun.
C.     Makna Baptisan
      Baptisan dan Perjamuan Kudus adalah sakramen yang ditentukan oleh Kristus untuk ditaati orang percaya. Kedua sakramen ini mempunyai makna rohani yang sangat dalam berkaitan dengan apa yang telah Allah kerjakan bagi keselamatan manusia berdosa melalui pribadi Yesus Kristus. Perjamuan Kudus bertalian dengan karya Kristus yang menjadikan diri-Nya sendiri sebagai korban penghapus dosa dunia ini.
            Tindakan menebus manusia berdosa menuntut kematian Kristus. Kematian-Nya di atas salib adalah akibat dari menanggung hukuman atas dosa manusia. Sebab itu, setiap kali perjamuan kudus dirayakan, sakramen ini membawa umat beriman untuk mengingat kembali akan tubuh Kristus yang telah dipersembahkan menjadi korban pendamaian dan juga akan darah kudus-Nya yang telah dicurahkan bagi pengampunan manusia berdosa. Jika perjamuan kudus berbicara tentang karya Tuhan Yesus dalam menggenapi rancangan keselamatan yang direncanakan Allah, maka baptisan kudus berbicara mengenai pekerjaan Roh Kudus yang menerapkan atau mengaplikasikan hasil karya penebusan Kristus terhadap orang percaya.      Robert Rayburn mengatakan, “Seperti Perjamuan Kudus melambangkan pekerjaan Kristus, demikian juga baptisan melambangkan pekerjaan dari Roh kudus.” Dalam ordinasi yang pertama Allah berbicara kepada kita tentang darah pembasuh; dalam ordinasi kedua dibicarakan “penyucian kelahiran kembali dan pembaharuan oleh Roh Kudus.”  Jadi, dalam perjamuan kudus fokusnya adalah pada pengorbanan Kristus. Sedangkan dalam baptisan fokusnya adalah pada pelayanan Roh Kudus. Berbicara tentang baptisan, harus diketahui dengan jelas bahwa sakramen ini sama sekali tidak menyelamatkan orang berdosa. Imanlah satu-satunya sarana yang membawa efek keselamatan bagi kita. Rasul Paulus menegaskan bahwa “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman…” (Ef. 2:8; Bdk Rom. 10:9-10). Bagaimana iman dapat timbul dalam hati manusia? Ini terjadi karena pekerjaan Roh Kudus. 
D.    Pandangan penganut Baptis Selam dan Percik
1.      Baptis Percik
            Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa baptisan air adalah suatu tanda kelihatan dari karya Roh Kudus yang tidak kelihatan, yakni pekerjaan-Nya melahir-barukan orang berdosa. Baptisan air melambangkan baptisan Roh Kudus. Dalam Alkitab, air adalah simbol untuk melukiskan Roh Kudus (Yoh. 7:38-39). Dengan demikian, maka baptisan air adalah lambang untuk menyatakan baptisan Roh Kudus.
            Alkitab juga mencatat bahwa karya Roh Kudus dalam kehidupan manusia selalu digambarkan sebagai ‘turun dari atas’ atau ‘dicurahkan dari atas’. Ketika para rasul mengalami penggenapan nubuat ini, mereka semua dihinggapi oleh “lidah-lidah seperti nyala api” simbol dari Roh Kudus yang turun dari langit (Kis. 2:2-4).Pada saat Tuhan Yesus menerima baptisan air dari Yohanes maka segera setelah itu, Roh Kudus turun ke atas diri-Nya dalam bentuk burung merpati (Mat. 3:16, Mark. 1:10, Luk. 21-22).
2.      Baptisan Selam
            Mereka berkeyakinan bahwa kata Yunani untuk membaptis yaitu “baptizw” (baptizo) atau kata infinitive-nya “baptizein” (baptizein) selalu bermakna utama mencelupkan atau menenggelamkan ke dalam air. Berlandaskan arti hurufiah kata ini, mereka sangat menekankan bahwa makna literal ini dengan sendirinya sudah menunjukkan cara baptisan yang tidak lain adalah dengan diselamkan.
 Karena tidak bersifat “single-meaning” maka jika kelompok yang memegang baptisan selam telah memakai salah satu maknanya yaitu ‘mencelupkan’ untuk dijadikan penentu metode baptisan, maka golongan yang melaksanakan baptisan percik juga berhak mengambil makna lain dari kata  to wash atau to purify by washing untuk dipakai sebagai penentu cara baptisan.  Pada intinya, arti dari kata “baptizw“ dan “baptizein” tidak bisa menjadi argumentasi yang definitif untuk menentukan satu-satunya cara yang sah dalam pembaptisan. Fakta adanya aneka-arti untuk kata “baptizw“ dan “baptizein” menyatakan bahwa tidaklah memadai jika cara baptisan ditentukan hanya berdasarkan makna literal dari kata aslinya. Kedua, pada beberapa bagian Alkitab, kata “baptizw“ atau “baptizein” yang dipakai sangat jelas tidak mengandung arti menenggelamkan atau mencelupkan. Misalnya, Mark. 7:4, kata yang diterjemahkan oleh LAI sebagai “membersihkan dirinya” dalam bahasa Yunaninya adalah membaptis.


             Teks Alkitab lainnya yang dipakai untuk mendukung metode baptisan selam adalah Yoh. 3:23. Dikatakan pada bagian ini bahwa Yohanes membaptis di dekat Salim ‘sebab disitu banyak air.’ Kata banyak air ini dianggap sebagai indikasi tentang baptisan selam. Robert Rayburn berpendapat bahwa sebenarnya itu tidak dimaksudkan demikian. Karena kata aslinya bukan mengatakan ‘banyak air’ tetapi lebih tepat ‘beberapa air’ atau ‘beberapa mata air’.
E.     Kontradiksi baptis selam
.           Pada hari Pentakosta, terjadi pertobatan massal sebagai respon terhadap khotbah yang diberitakan oleh rasul Petrus. Ada 3.000 orang bertobat dan pada hari itu juga mereka dibaptiskan (Kis. 2:41). Mungkinkah 12 rasul yang ada bisa membaptis orang percaya sebanyak ini dalam satu hari? “Tidak cukup fasilitas untuk membaptis selam 3.000 orang pada hari itu di Yerusalem. Di Yerusalem tidak cukup air untuk membaptis semua ukuran orang. Bahkan dengan hanya 12 rasul yang membaptis, tidak cukup waktu untuk melakukan baptisan selam.

     









BAB III
 PENUTUP
A.     Kesimpulan
            Allah sendirilah yang menjadi dasar dan pelaksana utama dalam Baptisan, bukan manusia. Oleh karena itu, tidak menjadi persoalan tentang siapa orang yang dibaptis, apakah orang dewasa atau anak-anak; sebab jika baptisan tersebut dilaksanakan di dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus, maka sakramen tersebut adalah sah. Seorang yang menerima baptisan berarti telah ikut dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.
            Alkitab tidak pernah berbicara tentang cara pembaptisan. Sebab itu, tidak boleh ada satu cara yang dimutlakkan (baik selam atau percik atau pencurahan) dan tidak perlu ada klaim mengenai satu-satunya cara yang sah dalam menjalankan baptisan.

B.     Saran
            Kita harus mengakui bahwa makna baptisan jauh lebih penting dari pada caranya. Persetujuan terhadap statement ini akan menghadirkan sikap yang tolerir (bisa menerima) terhadap cara apa pun yang diterapkan, asal saja baptisan itu memakai unsur air dan dilakukan dalam nama Allah Tri Tunggal: Bapa, Anak dan Roh Kudus (Mat. 28:19).
Setiap orang yang memiliki pengalaman lahir baru, bertobat dan beriman adalah orang yang telah dibaptis oleh Roh Kudus. Selain menjadi tanda, baptisan air yang diterima dengan iman akan berfungsi sebagai meterai yang menyatakan kehadiran Roh Kudus yang memberikan jaminan keselamatan. 
.



DAFTAR PUSTAKA
 Xavier Leon, Ensiklopedi Perjanjian Baru, Kanisius, Yogyakarta 1990: hlm. 156.
 O. Cullmann, Baptism in The New Testament, SCM Press Ltd., London 1956: hlm. 14.
 Oepke, “βαπτω, βαπτιζω, βαπτισμος, βαπτισμα, dalam TDNT Vol. I, WMB Eerdmands Publishing Company, Michigan t.t.: hlm. 531.
1964 Geoffrey, Chapmann Baptism in the New Testament: A Symposium, London . 1964 .Kerr Jr., Hugh Thomson (ed.).




                1 Oepke, “βαπτω, βαπτιζω, βαπτισμος, βαπτισμα, dalam TDNT Vol. I, WMB Eerdmands Publishing Company, Michigan t.t.: hlm. 531.

[2] 1964 Baptism in the New Testament: A Symposium, London (Geoffrey Chapmann).Kerr Jr., Hugh Thomson (ed.).
[3] 1956 Baptism in The New Testament, London (SCM Press Ltd.).End, Van den.

Tugas Dogmatika



LAPORAN BACAAN
NAMA                          : APRIN SARAGIH
SEMESTER                   : III (TIGA)
MATA KULIAH                         : DOGMATIKA II
DOSEN                         : MARIANUS TWANG, M.Th
JUDUL BUKU               : DOGMATIKA MASA KINI
PENGARANG               : DR. B. J. BOLAND

A. Manusia Diciptakan oleh Allah
            Alkitab mengatakan bahwa setelah Allah menciptakan bumi, langit, tumbuhan, dan binatang, serta segala benda-benda yang lain, Allah menciptakan manusia. Alkitab mencatat, "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita ... maka Allah menciptakan manusia itu" (Kej 1:26-27). Jadi, manusia bukanlah hasil proses pengembangan alami yang sempurna dari makhluk yang lebih rendah tingkatannya seperti yang dikembangkan oleh teori naturalistik.  Manusia bukanlah pengembangan dari kayu, batu, tumbuhan, apalagi binatang, seperti teori evolusi Darwin yang mengatakan bahwa manusia berkembang dari kera.
            Manusia diciptakan khusus oleh Allah, sebagaimana bumi serta segala isinya diciptakan oleh Allah. Temuan fosil manusia purba adalah hasil rekaan manusia, yang hendak menunjukkan bahwa bangsa manusia telah mengalami perkembangan sedemikian rupa, khususnya dalam hal bentuk tubuh dan ciri bawaannya. Penciptaan Adam dan Hawa dapat membuktikan bahwa sesungguhnya mereka adalah manusia yang sangat sempurna sebab dibentuk oleh Allah sendiri. Bahkan manusia diciptakan hampir sama dengan Allah. Daud bermazmur, "Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? ... namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Jika manusia hampir sama seperti Allah atau dengan kata lain istimewa dalam penciptaannya, tidak mungkin manusia berkembang dari benda atau makhluk yang kurang berharga, yang tidak pernah diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
B. Manusia Diciptakan Menurut Gambar dan Rupa Allah
            Istilah "gambar dan rupa" sebenarnya adalah dua istilah yang memiliki makna yang sama. Memang dalam Kejadian 1:26 dituliskan bahwa manusia diciptakan sesuai gambar  dan rupa  Allah, namun sesungguhnya dalam bahasa Ibrani tidak ada kata penghubung "dan" yang menunjukkan bahwa sebenarnya kedua kata tersebut digunakan hanya untuk memberi penekanan, bukan dua arti yang berbeda. Arti kata gambar adalah suatu peta yang memiliki bentuk patron. Berarti, peta tersebut bukanlah baru dibentuk, tetapi tinggal mengikuti bentuk patronnya. Umumnya, sebelum seorang menjahit baju, ia terlebih dahulu membuat patronnya. Sedangkan kata rupa berarti suatu gambar yang modelnya harus sesuai dengan bentuk yang pertama. Dari arti kata  dan  dapatlah dikatakan bahwa sebenarnya keduanya punya arti yang sama. Jadi, apa artinya diciptakan sesuai gambar dan rupa Allah.
1.      Allah adalah patron dasar manusia.
            Manusia tidak hadir dengan sendirinya, tetapi memiliki sumber, yaitu Allah. Hal ini berarti manusia harus kembali kepada Allah sebagai sumbernya.  Dalam konteks penciptaan, manusia harus kembali mempertanggungjawabkan tugas dan pekerjaannya dalam mengolah bumi kepada Allah. Dalam konteks kejatuhan sekarang ini, manusia dalam mengalami masalah dan kesulitan dapat kembali kepada Allah. Dalam Allah sajalah, sebagai patron dasar, manusia dapat melihat bukan hanya masalahnya, melainkan juga kesalahannya. Dengan kata lain, manusia dapat menyelesaikan segala kesulitan, baik yang sifatnya internal, dari dalam diri manusia, maupun eksternal dari luar dirinya, di dalam Allah untuk disesuaikan kembali dengan bentuk patronnya.
2.      Manusia mencerminkan Allah.
            Dalam tugasnya sebagai tuan atas bumi, manusia mencerminkan Allah pencipta. Dalam mencerminkan Allah, manusia bukanlah hanya secara pasif bertindak sebagai cermin, tetapi juga harus berusaha secara aktif untuk mencerminkan Allah. Dalam konteks kejatuhan, manusia sama sekali tidak mampu mencerminkan Allah karena rusak secara total oleh dosa. Namun, pembaruan dalam Kristus memungkinkan manusia untuk kembali dan berusaha mencerminkan Allah. Yesus memperbarui agar manusia hidup serupa dengan Allah (1Yo 2:6). Memang manusia tidaklah dapat mencerminkan Allah secara utuh karena ada perbedaan kualitas. Namun, manusia tetaplah harus terlihat sebagai refleksi tertentu dari Allah.
3.      Manusia seperti Allah tetapi bukan Allah.
           Manusia memiliki potensi-potensi seperti Allah, tetapi manusia harus tetap mempertanggungjawabkan segala potensinya kepada Allah yang telah memberikan potensi dan tanggung jawab kepada manusia. Dalam bahasa Perjanjian Baru, manusia harus mempertanggungjawabkan segala karunia yang telah Allah berikan untuk memperlengkapi manusia.

C. Definisi Dosa
            Dosa memiliki arti dasar: tidak mengena pada sasaran, meleset dari tujuan, melanggar batas, tidak taat/tidak patuh, melawan atau memberontak. Dosa dapat didefinisikan sebagai pemberontakan secara aktif terhadap Allah Pencipta yang menyebabkan manusia tidak taat, melanggar hukum Allah, dan menyimpang dari tujuan Allah yang menciptakannya. Dosa selalu berkontradiksi dengan kekudusan Allah sehingga tidak dapat dipandang sepele, sebaliknya harus dipandang serius.
            Dosa bukanlah sesuatu yang timbul dari sifat kebinatangan manusia karena manusia diciptakan berbeda secara esensial dengan binatang. Dosa juga bukan nafsu fisikal manusia semata-mata. Dosa adalah pemberontakan terhadap Allah dan setelah kejatuhan Adam dalam dosa, dosa melekat pada setiap manusia keturunannya seperti yang diungkapkan oleh Daud, "Sesungguhnya, ... dalam dosa aku dikandung ibuku."

D. Asal Usul Dosa
            Dosa berasal dari Iblis. Iblislah yang pertama kali memberontak terhadap Allah dan ia ingin mengajak manusia ciptaan Allah untuk juga memberontak terhadap Allah. Alkitab berkata, "Barangsiapa yang tetap berbuat dosa, berasal dari Iblis, sebab Iblis berbuat dosa dari mulanya" . Iblis menggoda Hawa untuk melanggar peraturan atau larangan Allah sama seperti yang ia telah lakukan. Selanjutnya, Hawa menggoda Adam untuk menuruti keinginan Iblis. Akhirnya, Iblis berhasil membawa Adam dan Hawa menuruti keinginannya. Rasul Yohanes berkata, "Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran" .
            Memang Allah yang memberi kehendak bebas manusia sehingga manusia bisa memilih menaati Allah atau melawan Allah. Tetapi itu bukan berarti Allah yang menghendaki manusia berdosa. Manusia memberontak dan berbuat dosa atas keinginannya sendiri yang memilih mengikuti keinginan Iblis. Misalnya, seorang bapa membelikan anak remajanya sebuah sepeda motor. Hal ini dilakukannya supaya anaknya dapat lebih luas beraktivitas dan menghemat banyak ongkos transportasi. Namun, anaknya suka menggunakan motor tersebut dengan berkebut-kebutan yang akhirnya membawanya pada kecelakaan yang merenggut nyawanya. Apakah dengan demikian bapanya yang menghendaki kematian anaknya? Tentu tidak. Anaknyalah yang menyalahgunakan apa yang telah diberi oleh bapanya.
D. Akibat Dosa
1.      KEMATIAN ROHANI
            Allah mengusir manusia dari hadapan-Nya, dan Ia tidak membiarkan manusia yang berdosa ada dalam persekutuan dengan-Nya (Kej 3:24). Ini merupakan bagi manusia sebab pada dasarnya manusia diciptakan untuk berhubungan dengan penciptanya. Roh manusia yang diberikan oleh Allah mengalami keterpisahan dari Roh Allah yang hidup. Kematian ini juga menyebabkan manusia kehilangan kemuliaan Allah yang melekat kepadanya (Rom 3:23; Efe 2:1).

2.      KEMATIAN JASMANI
            Semula Allah tidak menciptakan manusia untuk mati dan kembali menjadi tanah, tetapi dosa menyebabkan manusia pasti mengalami kematian dan menjadi tanah kembali. Alkitab mencatat, "Dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah" (Kej 3:19). Kehilangan kemuliaan Allah menyebabkan kualitas tubuh manusia menurun drastis. Kematian jasmani merupakan konsekuensi dari keberdosaan manusia, seperti dikatakan oleh Paulus, "Sebab upah dosa ialah maut" (Rom 6:23)

3.      RUSAKNYA HUBUNGAN DENGAN SESAMA
            Manusia adalah serigala bagi sesamanya. Ungkapan ini ada benarnya karena berdasarkan fakta manusia bisa saling merugikan dan saling mencelakakan di dalam upayanya mempertahankan hidup dan mengejar kesenangan hidup. Hubungan antar manusia tidak lagi harmonis sejak fakta kejatuhan dalam dosa. Manusia saling mempersalahkan (Kej 3:12-13). Peristiwa Kain membunuh Habel merupakan bukti selanjutnya. Sejak saat itu manusia selalu harus berhati-hati dalam berhubungan dengan sesamanya. Memang ada pepatah mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang. Pepatah ini hanya memiliki separuh kebenaran. Kebenaran yang melengkapinya adalah tak kenal, maka tak benci. Kalau mau jujur, orang-orang yang berselisih tajam, saling membenci, saling mengecewakan, bahkan saling membunuh, umumnya adalah orang-orang yang saling kenal, bahkan tidak jarang mereka mempunyai kedekatan secara emosional. Manusia menjadi makhluk yang tinggi egosentrisnya, dan itu sebabnya mengapa manusia menjadi sulit bersekutu dengan sesamanya. Keadaan ini sebenarnya bersumber dari rusaknya hubungan manusia dengan Allah sehingga manusia tidak tahu membedakan manakah kehendak Allah dan manakah yang bukan. Semuanya hanya menuruti hawa nafsunya sendiri.



4.      RUSAKNYA KEHARMONISAN ANTARA MANUSIA DENGAN ALAM
            Pada mulanya Allah menciptakan manusia dan seluruh alam semesta dalam keadaan yang harmonis dan sungguh amat baik. Alkitab mencatat, "Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik" (Kej 1:31). Manusia membutuhkan alam untuk mengaktualisasikan dirinya dan alam membutuhkan manusia untuk memelihara dan menatanya. Manusia dan alam memiliki hubungan interdependensi yang kuat dan erat. Namun, dosa menyebabkan manusia tidak mampu memelihara dan mengusahakan alam, tetapi justru semena-mena karena keserakahannya. Teknologi yang dibuat manusia cenderung ditujukan untuk merusak alam sehingga dunia sekarang dihantui oleh krisis lingkungan hidup seperti bocornya ozon, banjir karena gundulnya hutan, efek rumah kaca, dan sebagainya yang dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, kesengsaraan bahkan kepunahan makhluk hidup, terkikisnya kekayaan, krisis air bersih, dan sebagainya.

























TANGGAPAN POSITIV
            Dalam mempelajari dogmatika sangat pentinglah seorang mahasiswa teologi kritis terhadap sebuah doktrin yang telah beredar dan diakui oleh sekalangan manusia yang akhirnya membangun agama dan paham diatas doktrin yang bertentangan dengan Alkitab. Buku ini menjelaskan akan perkembangan ilm dogmatika kearah masa kini. Buku ini cukup bagus sebab penjelasan mengenai isi buku cukup bagus da mudah dimengerti.
TANGGAPAN NEGATIV
            Buku ini banyak menjelaskan akan pokok pokok penting dalam ilmu dogmatika kristen. Dalam buku ini memang penyajiannya telah bagus dan bahasanya juga mudah dimengerti namun penjelasan terhadap sub judul yang terdapat dalam buku ini kurang mendalam.